Semua emosi, pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Akar kata emosi adalah movere, kata kerja Bahasa Latin yang berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan “e-” untuk memberi arti bergerak menjauh, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal yang mutlak dalam emosi. Bahwa emosi memancing tindakan, tampak jelas bila kita mengamati binatang atau anak-anak; hanya pada orang-orang dewasa yang “beradab”, kita sering menemukan perkecualian, walaupun terkadang tidak, emosi-akar dorongan untuk bertindak, terpisah dari reaksi-reaksi yang tampak oleh mata.
Pembahasan mengenai emosi, sesungguhnya adalah pembahasan mengenai kerja otak, yang menjadi mesin penggerak tingkah laku individu. Dan karena letaknya di otak itulah, maka emosi sebagai sebuah sistem penggerak hidup kita, cara kerjanya sangat berkaitan erat dengan seluruh sistem yang lain, yang juga mendorong munculnya tingkah laku individu, terutama yang berkaitan dengan kemampuan kognitif, atau kecerdasan, termasuk kecerdasan akademik.
Pemahaman bahwa kecerdasan akademik bukanlah satu-satunya aspek yang menentukan keberhasilan hidup seseorang, tampaknya sudah mahfum dikalangan masyarakat. Namun, alasan mengapa seperti itu tampaknya belum semua orang memahami dengan sepenuhnya. Jika kita melihat dan memperhatikan benar-benar, sesungguhnya aspek apa yang paling sering mewarnai dan menentukan irama hidup seseorang? Sesungguhnya adalah keadaan emosi. Belakangan, setelah Howard Gardner mengemukakan teorinya mengenai multiple intelligent atau kecerdasan majemuk dan Daniel Goleman mensosialisasikan mengenai emotional intelligent (kecerdasan emosi), nyatalah mengapa kecerdasan secara akademik saja bukan satu-satunya yang menentukan keberhasilan hidup seseorang. Karena individu terbangun dari berbagai aspek dalam hidupnya. Maka, memahami apa yang paling mendasar dalam hidup seseorang, yaitu emosi menjadi sesuatu yang penting untuk diketahui oleh semua orang, terutama orang tua .
Perkembangan Emosi Anak Sesuai Tahapan Usia
• Usia Infant (0 – 2 Tahun)
Sejak lahir, seorang individu sudah memiliki kemampuan untuk merasakan dan memberi respon emosi; dalam bentuk tertarik pada sesuatu, merasa tertekan dan merasa jijik. Bayi sudah bisa memberikan senyuman social sebagai bentuk ekpsresi emosi, pada usia mulai 4-6 minggu. Emosi-emosi yang lain berkembang secara bertahap dan ditunjukkan dengan semakin banyaknya respon ketika anak berkembang seiring dengan waktu. Emosi marah, terkejut dan sedih mulai muncul pada usia 3-4 bulan, dan anak mulai bisa merasakan takut pada usia antara 5 – 7 bulan. Rasa malu mulai muncul pada usia 6-8 bulan, dan perasaan bersalah baru muncul pada usia anak 2 tahun. Ketika anak belum bisa bicara, mereka menggunakan emosi, khususnya senyuman dan tangisan untuk berkomunikasi. Senyuman bayi mengkomunikasikan rasa senang dan nyaman kepada orang tuanya, dan meningkatkan semakin banyaknya pernyataan cinta dan perhatian yang disampaikan oleh orang tuanya. Sebaliknya, tangisan merupakan bentuk komunikasi dari perasaan tertekan karena lapar, sakit atau marah. Responsivitas dan kecepatan serta ketepatan orang tua bereaksi terhadap tangisan tersebut akan menguatkan rasa percaya dan membuat anak membentuk attachment (kelekatan)dengan orang tuanya. Sebagai dasar dari tumbuhnya rasa percaya dan rasa aman anak terhadap dunianya.
• Usia Prasekolah (2- 6 Tahun)
Secara emosional, anak-anak prasekolah sudah bisa merasakan cinta dan mempunyai kemampuan untuk menjadi anak yang penuh kasih sayang, baik dan sangat menolong, dan pada saat yang bersamaan bisa juga sangat egois dan agresif. Ketika anak-anak prasekolah ini memiliki model/orang tua/pengasuh yang penuh kehangatan dan cinta serta merawat mereka dengan kasih sayang, mereka akan menjadikan cinta sebagai landasan dari dunia mereka, dan bisa diajari untuk peduli dan mau membantu atau menolong orang lain. Hal ini bisa dilakukan dengan memberi contoh, membacakan cerita, melalui gambar, menyanyi, menari, bermain drama, atau kegiatan-kegiatan kooperatif lainnya. Anak sudah bisa merasakan dan menyadari jika ada anak lain yang sedih, merasa bersimpati dan ingin menolong. Namun demikian, karena mereka belum bisa berpikir dari sudut pandang orang lain, mereka belum bisa diharapkan untuk berempati. Ketika anak semakin matang, mereka akan mampu untuk mengidentifikasi atau mengenali perasaan mereka, dan menghubungkannya dengan kejadian/peristiwa yang spesifik. Sebagai contoh anak usia 3 tahun bisa menceritakan perbedaan antara reaksi senang dan sedih pada sebuah cerita, dan seiring dengan meningkatnya kemampuan bahasa mereka, anak usia 4 dan 5 tahun sudah bisa menyampaikan perasaan mereka pada orang lain. Anak-anak ini sudah bisa mengekspresikan emosi dasar dari rasa marah dan takut, baik dengan cara yang positif maupun negative. Marah sebagai bentuk pernyataan asertif, merupakan dasar dari cara anak mengembangkan kemampuan inisiatif, dan bisa mendorongnya kearah prestasi dan penyelesaian masalah. Rasa takut, yang diekspresikan dalam bentuk kecemasan yang ringan justru bisa menjadi sebuah motivator bagi mereka. Marah juga bisa mereka ekspresikan dalam bentuk agresisivitas, biasanya hal ini disebabkan karena mainan dan ruang bermain atau tempat untuk bereksplorasi yang kurang, dan kecemburuan biasanya berkaitan dengan persaingan antar saudara kandung. Anak prasekolah hanya mengekspresikan satu emosi pada satu waktu, dan belum bisa memadukan emosi atau perasaan dari hal-hal yang membingungkan, seperti yang dirasakan oleh anak-anak yang lebih besar. Karena itu, anak-anak ini menjadi bingung dan sulit untuk membedakan emosi mereka, dan tidak tahu bagaimana cara menyampaikan apa yang mengganggu atau apa yang mereka inginkan.
• Usia Sekolah (6- 12 Tahun)
Perkembangan emosi anak usia sekolah kurang lebih sama dengan anak usia prasekolah, namun karena kemampuan kognitif mereka sudah lebih berkembang, hal ini memungkinkan mereka untuk bisa mengekpresikan emosinya dengan lebih bervariasi, dan terkadang bisa mengekpresikan secara bersamaan dua bentuk emosi yang berbeda dan bahkan bertolak belakang. Perkembangan kemampuan kognitif mereka juga yang membuat anak-anak usia antara 6-8 tahun sudah mengetahui bahwa orang lain bisa punya perasaan dan pikiran berbeda mengenai suatu hal. Pada usia 8-10 tahun mereka bisa mempersepsi/mengira-ngira mengenai apa yg orang lain pikir dan rasakan, dan pada usia 12 tahun keatas mereka sudah mampu menganalisa dan mengevaluasi cara mereka merasakan atau memikirkan sesuatu, begitu juga orang lain, dan mereka sudah mulai bisa merasakan bentuk empati yang lebih dalam. Pengetahuan mengenai benar – salah dan perkembangan emosi mengenai perasaan benar dan salah pada anak usia ini ditentukan oleh aturan yang ada dalam keluarga, sekolah, masyarakat dan teman sebaya mereka. Begitu anak-anak tumbuh dan berkembang, mereka semakin matang untuk membentuk aturan dan nilai-nilai mereka sendiri dalam kerangka social dan budaya yang lebih luas. Anak-anak pada usia 6-7 tahun mengetahui adanya aturan, dan menganggap hal tersebut tidak bisa diubah, dan mereka selalu memikirkan mengenai hukuman yang akan mereka dapat jika mereka melanggar aturan. Mulai usia 10 tahun keatas, mereka mulai bisa mempertimbangkan antara tujuan tingkah laku dan konsekuensinya, mereka juga menyadari bahwa sebuah tingkah laku bisa memiliki makna berbeda tergantung sudut pandangnya. Mereka juga tahu bahwa aturan bisa diubah dan dikompromikan.
Bentuk-bentuk Ekspresi Emosi Anak
• Amarah, pertengkaran saat main, tidak terpenuhi keinginan, ekspresi emosi yang tampil biasanya adalah: menangis, berteriak, menendang, melompat-lompat, memukul, berguling.
• Takut, ingatan tentang pengalaman yang tidak menyenangkan, cerita/gambar seram, film/TV, ekspresi emosinya biasanya adalah: panik, lari, menghindar, bersembunyi, menangis.
• Cemburu, minat dan perhatian orang tua beralih, bentuk ekspresi yang mungkin muncul: mengompol, pura-pura sakit, menjadi nakal, dengan tujuan untuk menarik perhatian.
• Iri hati, mengenai kemampuan/barang yang dimiliki anak lain, bentuk ekspresi emosinya adalah: mengeluh tentang barang yang dimiliki, mengambil barang yang diinginkan.
• Gembira, karena sehat, situasi yang lucu, bunyi yang tiba-tiba/diharapkan, bencana yang ringan, membohongi orang lain, bisa melakukan sesuatu yang sulit, bentuk ekspresi: tersenyum, tertawa, tepuk tangan, melompat, memeluk benda/orang.
• Sedih, kehilangan segala sesuatu yang dicintai atau yang dianggap penting, bentuk ekspresi: menangis, kehilangan minat terhadap kegiatan normal, tidak mau makan.
• Kasih sayang, belajar mencintai org lain, binatang atau benda yang menyenangkan, bentuk ekspresi: dengan mengatakan secara lisan, memeluk, mencium.
Masalah-masalah emosi pada anak
• Pengendalian emosi terutama marah,
• Kurang kasih sayang,
• Terlalu terikat dengan satu figur,
• Tidak mampu terikat secara emosi dengan benda-benda kesayangan
Memahami Emosi Anak
a. Jika anak marah dan menggunakan kekuatannya, apa yang ia inginkan sesungguhnya adalah otonomi, ikut memutuskan dan tanggung jawab
b. Jika ia menyakiti untuk membalas, yang ia butuhkan sesungguhnya adalah keadilan dan perlakuan yang sama
c. Jika anak takut dan tidak berani melakukan sesuatu, apa yang ia butuhkan adalah, dorongan dan dukungan
d. Jika anak merengek minta perhatian, apa yang sesungguhnya diinginkan adalah rasa memiliki dan dimiliki, pengakuan, keterlibatan
Pemahaman mengenai isi emosi anak ini, akan membantu orang tua untuk bereaksi dan memberi respon yang tepat terhadap ekspresi emosi yang ingin disampaikan anak.
STIMULASI UNTUK PERKEMBANGAN EMOSI YANG SEHAT
1. Pengasuhan yang sensitive dan responsif
• Memahami apa yang dibutuhkan anak
• Tidak bereaksi negatif saat anak rewel atau marah
• Menanggapi dengan tepat apa yang menjadi kebutuhan anak
• Senang bermain dengan anak dan tertarik dengan aktivitas anak
2. Penggunaan disiplin positif
• Fokus pada tingkah laku positif anak
• Menghilangkan tingkah laku negatif anak tanpa omelan dan hukuman
• Meyakini bahwa tidak ada anak yang nakal
• Mengajarkan disiplin dengan cinta dan kasih saying
3. Metode disiplin positif
• Spesial Moment, berarti anak mendapatkan perhatian yang special dengan kualitas yang khusus sebagai bentuk dedikasi orang tua padanya di waktu-waktu tertentu. Special moment merupakan alat untuk membawa self esteem anak naik mencapai derajat tertentu. Special moment dapat mengambil situasi-situasi yang biasa terjadi dalam interaksi anak dan orang tua, namun yang melibatkan afeksi secara mendalam. Untuk anak-anak yang lebih muda, special moment bisa terjadi saat orang tua memeluk anak ketika bangun di pagi hari, permainan-permainan seperti saatnya berpelukan atau saat membacakan buku menjelang tidur.
• I – message, I-message tidak menyalahkan, tidak menilai tingkah laku yang dipermasalahkan, terutama ketika bertabrakan dengan kebutuhan yang menyatakannya. I-messages menggambarkan bagaimana tingkah laku yang tidak bisa diterima berdampak pada yang menyatakannya, dan bagaimana itu mempengaruhi perasaannya. I-messages mengkonfrontasi tingkah laku yang dikeluhkan dan bukan orangnya. Salah satu contoh I-messages adalah sebagai berikut: ” jika kamu membuang pasir dari kotak pasir ke karpet, maka ibu membutuhkan banyak waktu untuk membersihkannya, dan ibu tidak suka itu”. Bukan, ”kamu nakal sekali mengotori karpet dengan pasir”
• Positif Recognition, adalah Menghargai dan mengapresiasi untuk setiap hal baik yang dilakukan anak, bisa berbentuk ekspresi fisik (memeluk, mencium, mengelus) atau pemberian hadiah.
• Konsekuensi tingkah laku, Anak-anak harus belajar dan diajari bahwa tingkah laku mereka memiliki konsekuensi. Jika orang tua memberi aturan atau melarang mereka melakukan sesuatu yang berbahaya, tujuannya adalah mengajarkan mereka mengenai konsekuensi dari tingkah lakunya. Dengan cara ini, mereka dapat memahami serta mengapresiasi bahwa orang tua membantu atau melarang dengan tujuan agar mereka tidak mendapat konsekuensi yang negatif
• Kees-erziehen, merupakan singkatan kees, merupakan kependekan dari cooperative, encouraging, social and situation-oriented. Kees-erziehen mengidentifikasi empat kebutuhan social dasar pada individu yaitu:
a) to belong and feel loved (rasa dimiliki dan dicintai)
b) to be important (merasa penting)
c) to be able to influence (bisa memberi pengaruh)
d) to feel protected dan secure (merasa terlindungi dan aman)
Dengan mengadopsi metode kees-erziehen, maka praktek mendisiplinkan anak, selalu dilandaskan pada empat kebutuhan social dasar diatas. Bahwa, bahkan pada saat kita akan mengajarkan mereka untuk berdisiplin, kita tetap harus memperhatikan kebutuhan anak akan perasaan dimiliki dan dicintai, perasaan bahwa mereka penting bagi orang tuanya, dan bahwa mereka bisa memberi pengaruh serta tetap harus dipenuhi keinginannya untuk dilindungi dan mendapatkan rasa aman.
Dengan menggunakan disiplin positif, maka anak akan terasah emosi positifnya dan belajar mengelola dan mengendalikan emosi negatifnya sekaligus. Pemahaman mengenai hal ini, akan memudahkan orang tua membantu anak mengembangkan emosinya secara sehat, sehingga kemungkinan munculnya masalah-masalah akademik pada anak yang berkaitan dengan emosi bisa diminimalisir seoptimal mungkin.
Contoh :
Orang tua Adi
sibuk bekerja. Ayahnya seorang arsitektur sedangkan ibunya seorang manager di
suatu perusaahaan. Setiap hari Adi sering tak pernah mengobrol dengan kedua
orang tuanya sehingga tak mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya. Suatu
ketika, saat orang tuanya sedang berada dirumah, Adi menunjukkan kekesalan
kepada orang tuanya dengan cara membanting semua barang dirumah, berteriak
sambil menangis kencang. Dia berkata ingin diperhatikan orang tuanya seperti
teman – temannya yang lain. Melihat Adi berkelakuan seperti itu, orang tuanya
pun menjadi sedih. Akhirnya orang tuanya pun selalu meluangkan waktu di akhir
pekan untuk bermain bersama Adi dan berjanji tak akan pernah seperti itu lagi.
Comments
Post a Comment